November 15, 2007

Tes.. ini percobaan ya. tes tes..
tes.. tis...

November 04, 2007

If you, if you could return
Don’t let it burn, don’t let it fade
I’m sure I’m not being rude
But it’s just your attitude
It’s tearing me apart
It’s ruining everything
And I swore, I swore I would be true
And honey so did you
So why were you holding her hand
Is that the way we stand
Were you lying all the time
Was it just a game to you

Ini hanyalah sebuah permainan baginya. It doesn't mean anything for him. Tidak peduli bagaimana perasaan saya ketika ia memeluk saya kali pertama setelah pelukannya terakhir kali. Ia tidak peduli hati saya berontak ketika ia mencium saya kali pertama setelah ciumannya 6 tahun yang lalu. Ia tidak peduli saya menunggu sebuah penjelasan keluar dari bibirnya selama bertahun-tahun. Tidak pula mempedulikan bagaimana hati saya sekarang menunggunya datang. Ia tidak pernah peduli sekalipun.

But I’m in so deep
You know I’m such a fool for you
You got me wrapped around your finger
Do you have to let it linger
Do you have to, do you have to
Do you have to let it linger

Oh, I thought the world of you
I thought nothing could go wrong
But I was wrong
I was wrong
If you, if you could get by
Trying not to lie
Things wouldn’t be so confused
And I wouldn’t feel so used
But you always really knew
I just wanna be with you

Tidak pernah ada win win solution di dalam permainan ini. Ia yang memegang kendali. Ia bisa datang sesuka hati, pergi sesuka hati, berbuat semaunya. Dimana saya? Baginya, saya berada dimana sebenarnya? Sebuah pion catur yang bisa dipindahkan kapan pun ia inginkan? Sebuah keset yang bisa diinjaknya ketika memasuki sebuah ruangan?
Dan yang tersisa untuk saya hanyalah bau parfumnya tertinggal di bantal yang makin lama makin memudar, serta memori yang ada di otak yang selalu terputar kembali apapun aktivitas yang saya lakukan.

And I’m in so deep
You know I’m such a fool for you
You got me wrapped around your finger
Do you have to let it linger
Do you have to. do you have to
Do you have to let it linger

And I’m in so deep
You know I’m such a fool for you
You got me wrapped around your finger
Do you have to let it linger
Do you have to, do you have to
Do you have to let it linger

Satu hari ini saya berpikir. Apa yang harus saya lakukan? Membiasakan diri dengan dirinya lagi, which is, ia bisa datang dan pergi sesuka hatinya, atau menghentikan semua ini, which is, saya tidak akan pernah bisa melihatnya lagi, mendengarnya bercerita, mengetahui kabarnya? Sama seperti yang saya lakukan selama ini. Tidak mau tahu segala sesuatu tentangnya. Tidak peduli apakah dia masih ada di dunia ini atau tidak. Relakah saya?

You know I’m such a fool for you
You got me wrapped around your finger
Do you have to let it linger
Do you have to, do you have to
Do you have to let it linger

Hhh... saya harus mengakhirinya.
Should i?

November 03, 2007

Sudah dua minggu ini saya bertemu dengannya. Hampir sering. Dari ketidaksengajaan bertemu di suatu tempat yang sepertinya ditakdirkan untuk kami berdua, akhirnya ia sering mengunjungi saya.

Saya senang. Walopun ia datang hanya untuk meminjam film² yang saya punyai. Cukup membuat saya salah tingkah dihadapannya. Norak ya?
Tapi begitulah saya. Selalu tampak bodoh. Tidak pernah bisa menang. Sebal. Dia terlalu jauh untuk saya gapai. Mensejajarkan langkah saja sudah susah, apalagi meraihnya.

Terlalu bodoh jika saya libatkan perasaan saya. Lagi. Walaupun gairah untuk mendapatkannya memuncak, tidak mungkin saya jatuh ke lubang yang sama dua kali. Tidak. Saya tidak berani. Padahal pikiran saya sekarang ini selalu terarah padanya.

I'm so pathetic.

September 16, 2007

Hubungan antar manusia gampang-gampang susah. Itu menurut saya loh. Apalagi based on experience yang sudah saya alami. Dan ini kali ke dua saya berkeluh kesah tentang orang yang sama sejak juli lalu.

Orang yang sama? Berlanjut nih masalahnya? Nggak juga sih. Cuma, sepertinya saya susah sekali menjaga hubungan yang baik dengannya ketika berdekatan. Dimana letak salahnya saya tidak tahu. Kalau saya tahu, tentu sudah terselesaikan bukan masalah ini?

Mungkin saya yang tidak tahu diri, atau tidak memikirkan apa yang ia mau, atau apalah. Mungkin memang demikian adanya. Tapi, perlu di ingat, saya bukan magician yang bisa menebak keinginannya seperti Deddy Corbuzier. Atau doraemon yang bisa mengeluarkan mesin penebak pikiran. Apa saya harus mengerti arti diamnya? Sampai kapan harus begini?

Sepertinya saya tidak bisa hidup berdekatan dengannya. Mungkin kami tipe teman yang setahun sekali bertemu. Tidak bisa setiap hari bertemu. Menjaga pertemanan dengan baik perlu sekali bukan?

September 06, 2007

Feeling lost and I don’t wanna be here
Burning up inside the atmosphere
If I should spread my wings I could fly away
But I don’t wanna stay up here all night

Saya masih berada dalam euphoria ciptaan sendiri. Bayangkan, hampir dua minggu semenjak hari itu keadaan saya masih menyedihkan seperti ini. Euphoria yang sangat mendebarkan hati, mempercepat kinerja jantung saya, membuat saya bergairah menghadapi hari-hari yang akan saya lalui, walaupun tahu tidak akan terulang lagi, tetap membuat denyut nadi saya berpacu lebih dari biasanya.

And if you take my hand, you could take command
Can’t you hear me calling I’m falling
Won’t you take my hand, won’t you understand?
Can’t you hear me calling I’m falling

See the world below and I’m floating by
All alone here in the fearless sky
Feeling weightless please don’t let me go
Cos I need you so, tonight, tonight

Gila! Tubuh saya menggigil. Ini lebih gila dari yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Efeknya terlalu hebat bagi tubuh saya. Bukannya saya tidak kuat menghadapinya, malah saya menikmatinya! Menikmati semua perubahan yang terjadi. Padahal saya tahu, efeknya sangat buruk bagi saya.

If you take my hand, you could take command
Can’t you hear me calling I’m falling
Won’t you take my hand, won’t you understand?
Can’t you hear me calling I’m falling

The sky at night is cool when your feet are on the ground
But I need your sense of gravity
Something to pull me down

Tidak. Saya tidak boleh terjebak terlalu lama dalam dunia ini. Mimpi itu sudah berlebihan. Bukankah tidak baik jika saya terus-terusan berada di dunia khayal saya, sementara di realita hidup ini sangatlah kejam?

If you take my hand, you could take command
Can’t you hear me calling I’m falling
Won’t you take my hand, won’t you understand?
Can’t you hear me calling I’m falling
For you ahhyeah
Falling
For you

August 26, 2007

A lifetime waiting for the light to shine
Suddenly you were here, like an angel appeared
And the world that I knew changed into a wonderland
Then you called out my name, looked around and I found you were gone
Like the rays of the sun, disappeared into never ending nights

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengannya tanpa di sengaja. Hadir begitu saja di hadapan saya seperti ketika ibu peri muncul pertama kali di hadapan cinderella yang sedang bersedih karena tidak bisa datang ke pesta kerajaan. Mengayun tongkat sihirnya membuat sang putri merasa begitu bahagia. Walau jam 12 semua itu musnah. Ya. Seperti itulah kehadirannya bagi saya. Sekejap. Namun membekas di hati yang paling dalam. Lalu pergi diam-diam dengan mencuri secuil hati.

Where everything real has turned to stone
And the songbird has flown (youre gone)
Now I know a rose can change a shade of blue
Ooh yeah, yeah, yeah, yeah, yeah
A shade of blue

Sama. Dari dulu ia memberikan perhatian pada saya dengan cara yang sama. Suaranya yang lembut, soror matanya yang teduh, hangatnya pelukan, sentuhan-sentuhan yang ia berikan selalu membuat saya tidak bisa memejamkan mata. Belaiannya. Sama seperti ketika ia mencium kening saya untuk pertama kali.

My bodys hurting, crying and yearning
Sometimes I feel like Im loosing my mind
And I think about you, knowing only you could understand
Here alone in my room, I can feel all the walls closing in
Feeling trapped in a shell, wishing that I could spin the wheels of change

Yang tidak saya mengerti, apa maksudnya dengan semua sentuhan yang ia berikan? Kenapa ia harus memperlakukan saya seperti cinderella? Membuat saya melayang jauh. Bermimpi tentangnya. Kemudian menghempaskan begitu saja.
Sepertinya dia lupa, bahwa saya bukan cinderella dimana ibu peri selalu hadir membawa kebahagiaan. Dan nantinya, ujung dari kisah ini bukan seperti layaknya penutup sebuah dongeng, ".. and they live happy ever after".

August 24, 2007

Let it go.. or...
Let it flow.. ?

July 24, 2007

Ia kembali menyapa hati saya setelah.. uhm, 2005 terakhir kali saya menerima email darinya.

"Hei. Apa kabar?" tanyanya, membuka percakapan ketika tanpa sengaja saya bertemu dengannya ketika sedang menunggu lift. Damn. Kenapa saya harus berada di sini!? Tasha sialan! umpat saya dalam hati. Gara-gara dia saya harus menggantikannya rapat di stasiun tv dimana saya tahu, ia ada di sini. Sejujurnya saya tidak mau bertemu dengannya. Selama di gedung ini tak henti-hentinya saya berdoa dalam hati untuk menghilang saja sehingga ia tidak perlu melihat saya.

Ia masih sama seperti yang saya ingat. Bentuk wajahnya, binar matanya, senyumnya yang khas, semuanya. Tingginya. Hanya saja badannya lebih kekar serta sekarang wajahnya menunjukkan kedewasaan yang belum pernah saya lihat.

"Baik. Kamu?" hati saya berdebar, sedikit lebih kencang dari biasanya. Owh... stop it! Bisik saya, tak ingin debaran ini terdeteksi olehnya. Seolah-olah mengerti, hati saya berdebar pelan. Akan tetapi saya tetap merasakan sesuatu yang aneh di hati saya. Sebuncah getaran hinggap di perut. Kikuk dihadapannya, saya menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"Baik," ujarnya. Matanya menatap saya. Mulutnya setengah bergerak, kemudian mengatup. Seolah-olah ingin mengatakan sesuatu. Saya menelan ludah. Membasahi tenggorokan yang mengering. Saya ingin bertanya banyak hal kepadanya. Bagaimana hidupnya selama ini. Ingin mendengarnya bercerita seperti dulu. Ingin melihat binar matanya ketika berbicara yang sempat hilang dari hadapan saya.

"I, uh.. i've to go," ujarnya sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "mesti nyiapin live show buat jam 8"

"Owh.. ok" saya mengangguk sambil tersenyum. Suara lift berdenting. Pintunya terbuka. Saya melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Dan dia masih tetap berdiri di sana.

Ia masih menatap saya. "Maybe next time we can-"

"Yeah, sure," sambar saya. Masih mengangguk. "Next time, Gi"

Perlahan-lahan pintu lift tertutup.

July 21, 2007

Halo. Begitu lama saya tinggalkan blog ini begitu saja. Tanpa isyarat berpaling tanpa menoleh lagi. Dan dalam jangka waktu sedemikian lamanya, saya bertemu bermacam-macam orang beserta karakternya, bermacam-macam kejadian saya alami, berbagai emosi tercampur aduk. Dan kesimpulannya adalah..
Saya capek.

Memang menyenangkan bertemu dengan orang baru -atau orang lama yang sudah sekian tahun tidak bertemu. Setidaknya menambah daftar orang-orang yang dapat saya manfaatkan. Yaa! Dengan jujur saya bilang, saya memanfaatkan para kenalan baru saya -atau orang lama, untuk sesuatu yang dapat membuat taraf hidup saya naik. Kerja maksud saya. Saya sedang berencana pindah. Adakah dari kalian mau memberikan saya pekerjaan? Ada? Ada? Tidak?!?! Ya sudah. Diam saja di pojokan sana!

Saya sedang tidak mood untuk berbaik hati. Mungkin inilah yang membuat semua orang menjauh dari saya. Bayangkan. Saya tinggal di sebuah rumah yang berisikan 4 atau 5 orang, jarang sekali mereka mengajak saya berbicara. Bahkan, mereka tidak membangunkan saya untuk ikut dalam surprise birthday party yang diadakan di kamar sebelah! Padahal saya sedang tidur di ruang tv. Tidak sampai tiga langkah dari tempat saya untuk ke kamar sebelah. Dan saya hanya bisa mendengar ribut-ribut mereka saja. It sucks!

Well. Mereka telah menandai teritori untuk saya dengan pipis mereka. Tidak apa. Yang penting saya tahu harga pertemanan mereka. Dan yang paling utama adalah saya punya teman-teman yang lebih dapat diandalkan. Walaupun sedikit, kata-kata kotor berterbaran ketika kami berkumpul, sok orang kaya padahal duit tinggal sedikit, tapi setidaknya saya tahu dengan mereka saya dapat bermain dengan fair.

April 11, 2007

Menikah belum menjadi pilihan saya saat ini. Padahal umur saya sudah cukup dan orangtua mengharapkan anak bungsu mereka menikah secepatnya. Saya masih ingin main, masih belum mau mengurusi orang lain. Cukup diri sendiri yang saya urus. Tidak perlu bilang mau kemana saya pergi, apa yang saya lakukan, mau makan apa, semuanya terserah saya. Memang, orang yang menikah sekarang berbeda dengan jaman dulu yang selalu harus meladeni sang suami. Tapi saya memang belum ada niat untuk ke arah sana.

Hampir setiap saat orangtua saya —terutama ibu, menyinggung hal ini pada saya. Ketika saya pulang malam sehabis kerja atau main, yang terlontar dibibir ibu adalah, "Mau jadi apa kamu jam segini baru pulang?". Kalau sudah begini, yang saya lakukan hanyalah mencium pipinya lalu masuk kamar. Rasanya kuping ini sudah kebal mendengarnya. Kalau waktu dulu saya berani membantah, berdiam diri adalah pilihan saya sekarang. Ibu dan bapak tidak pernah mengerti kalau pegawai swasta seperti saya tidak seperti pegawai negeri yang bisa pulang jam 5 atau bahkan sebelumnya. Memangnya kenapa kalau saya pulang malam? Toh karena kerjaan, atau karena saya jarang sekali punya waktu bermain mengingat kerjaan yang terus menerus menumpuk.
"Inget umur, jangan kerjaan aja yang dipikirin. Waktu ibu seumuran denganmu, ibu sudah punya dua anak—"
Itu kan dulu, ujar saya dalam hati. Sekarang sudah banyak perempuan yang belum menikah, ibu. Bahkan, ada yang sudah berumur 35 tahun keatas belum menikah. Memangnya hidup ini harus cepat-cepat menikah?
"Anaknya bu Umar yang seangkatan ma kamu kemarin menikah—"
Ya kalau ia sudah siap, kenapa nggak? hati saya menyahut. Bibir ini tetap diam. Untuk apa saya meladeninya? Hanya bikin capek hati.
"Kata mbak Dini, Cilla sudah melahirkan minggu lalu. Kamu kalah. Bapak dan Ibu sudah tua. Kami ingin melihat cucu dari kamu"
Raut wajah saya tidak berubah. Apa saya harus mengadopsi anak? Atau mencari sperma unggul di bank sperma?
"Cari suami yang bibit bebet bobotnya bagus. Seagama, punya masa depan yang bagus, nggak cuma sayang ma kamu aja, tapi dengan keluarga kamu—"
Seperti Mas Jaka? Suami mbak Ria, kakak saya yang kedua. Orangnya sopan, baik, dari keluarga yang baik-baik, tutur kata yang halus dan masih segudang kebaikannya. Masa depan mbak Ria terjamin dengan pekerjaan mas Jaka sebagai pengacara. Tak heran kalau kehidupan rumah tanggak mbak Ria melebihi rumah tangga mbak Dini yang hanya bersuamikan dosen negeri. Tapi sayang, mbak Ria lebih memilih keluarga mas Jaka dibandingkan ibu. Misal, ketika lebaran tiba mbak Ria hanya memberi ibu 2 macam kue sedangkan untuk keluarga mas Jaka mbak Ria membeli 5 macam kue lebaran serta berplastik-plastik buah tangan untuk ponakan-ponakan mas Jaka. Belum lagi mbak Ria sibuk mengunjungi keluarga mas Jaka dibandingkan dengan ke rumah ibu yang hanya bisa dihitung dengan jari. Ketika mbak Dini, mas Riza, ibu, serta saya di rumah sibuk berbenah rumah menjelang lebaran karena si Nah pulang kampung, mbak Ria dan mas Jaka hanya ongkang-ongkang kaki di kamar. Seperti itu?
"Kamu belum ngerasain punya anak sih," ujar ibu pada saya ketika saya marah gara-gara anaknya mbak Ria berkali-kali membuat kamar saya seperti kapal pecah dengan mainan dimana-mana serta tempat tidur yang berantakan gara-gara suka melompat-lompat diatasnya, membuat mbak Ria memusuhi saya. Bukan hanya mbak Ria, mas Jaka pun ikut memusuhi saya. Kata mbak Ria, saya tidak menghormatinya dan mas Jaka. Lho, harusnya kan anak dididik untuk bertanggung jawab sejak kecil. Bandingkan dengan anak mbak Dini. Yan hampir selalu membereskan robot, kartu dan segala mainannya sehabis ia bermain (kecuali sedang ngambek). Ia pun tahu kalau saya tidak suka kamar saya dipenuhi dengan mainan, selalu membawa mainannya ketika keluar dari kamar saya. "Ya kan nanti juga bakalan diberesin," ujar mbak Ria membela diri. "Kalo diomongin baik-baik Dani juga bakalan mau ngeberesin kok" Saya kok tidak yakin. Terlalu banyak kejadian seperti ini. Sampai malam pun mainan-mainan tetap berserakan di semua sudut ruang tv. Saya paling sebal kalau Dani membiarkan mainan begitu saja. Memangnya enak menginjak tentara kecil yang tergeletak dengan senjata mengarah ke atas? Atau terpeleset gara-gara air yang menetes dari pistol air?

Sejujurnya, saya tidak mau mendapatkan suami seperti mas Jaka. Memang dia baik, terpelajar, masa depan cerah. Tapi entah di sengaja atau tidak, ia selalu berbicara yang memojokkan keluarga kami. Bapak yang selalu teliti terhadap apapun, ibu yang selalu cerewet jika melihat Dani memanjat pohon atau main sepeda kencang-kencang, saya yang super duper cerewet, etc. Sepertinya saya tidak rela keluarga saya lecehkan seperti itu. Memangnya salah jika bapak menghitung kembali apa-apa saja yang telah kami makan di restauran? Ya maklum saja, dari dulu bapak memang teliti dalam segala hal. Atau ibu yang selalu melarang Dani memanjat pohon atau main sepeda kencang-kencang? Sebagai nenek, tentu saja beliau tidak mau melihat cucunya terluka. Saya tidak bisa mendengar curhatan ibu mengenai omongan mas Jaka. Tidak sering sih, tapi cukup membuat saya sedih.
Jika suatu saat saya menjadi seorang istri, saya pun tidak mau seperti mbak Ria. Masak hanya gara-gara saya mempunyai suami, saya harus mengikuti apa kata suami tentang keluarga saya, atau lebih memilih keluarga suami dibandingkan keluarga saya sendiri?

Seperti yang saya tulis diatas, pernikahan bukan pilihan saya sekarang. Tidak perlu terburu-buru mencari sosok suami yang ideal hanya karena umur. Ah, sepertinya nanti saya adalah seorang istri yang bandel!

March 26, 2007

Beberapa minggu yang lalu seorang teman dekat melontarkan ide gila yang jelas-jelas langsung saya tolak mentah-mentah. Saya disuruh blind date dengan teman kuliahnya yang tidak saya kenal (tentu saja, namanya juga blind date!) dengan beberapa alasan: bosan dengan saya yang selalu memaksanya untuk menjadi pasangan saya ke setiap undangan pernikahan, capek mendengar tangisan saya setiap hubungan saya dengan lelaki lain berakhir, terlalu lelah mengikuti obrolan saya tentang ketidak-adilan dunia ini pada saya, dan yang utama adalah, pacarnya cemburu pada saya! Hah!

Saya sudah mengenalnya sejak duduk sebangku dengannya ketika SD. Dan dari dulu kami memang seperti itu. Ketika putus dengan pacar pertama saya, pertama kali yang saya lakukan adalah menelponnya berjam-jam lamanya untuk menangis. Ketika saya bosan pada hidup saya, ia melakukan hal-hal aneh yang membuat hidup saya jadi berarti lagi. Dimana pun saya ada, ia pun ada. Ia selalu menjadi bagian dari hidup saya. Ketika ia jatuh cinta, ketika sudah tidak tahan mendengar orangtuanya bertengkar, ketika ia memutuskan untuk lepas dari orangtuanya setelah sma, sayalah yang tahu terlebih dahulu. Jadi, untuk apa dia bosan dengan saya?

Mmm, pasti karena perempuan itu! Ya, pacarnya! Dari awal perkenalan saya sudah tidak sreg dengannya. Tahu kan bagaimana perasaan tidak sreg itu muncul? Out of nowhere, saya sudah tidak suka dengannya. Cara ia memeluk tangan teman saya seperti seorang anak kecil sedang memeluk mainan kesayangannya, menyiratkan bahwa, "ini milikku! aku tidak akan membiarkan tangan kotormu menyentuhnya!". Belum lagi sorot matanya yang judes memandang saya. Perempuan seperti ini harusnya ditendang jauh-jauh!
Tentunya, saya tidak bisa seenaknya bilang ia harus putus gara-gara saya tidak suka pada perempuan itu. Apa hak saya? Yang penting teman saya bahagia. Dan ia memang bahagia. Tidak pernah saya lihat ia bahagia daripada sekarang.

Jadi, apa saya harus mengikuti perkataannya tentang blind date itu? Mengistirahatkan ia sejenak? Membiarkan perempuan itu senang karena saya tidak lagi berada di sebelahnya?

Tapi, blind date bagaikan membeli kucing dalam karung. Bagaimana jika kucing yang saya beli ternyata berkutu? Atau kudisan? Meskipun saya tahu teman saya tidak sampai tega menyodorkan seseorang sejelek yang saya bayangkan, tapi, siapa tahu? Jika ternyata pasangan blind date saya mempunyai kebiasaan rahasia, misalkan menggaruk pantatnya walaupun tidak gatal? Idihh.. Sepertinya saya tidak bisa mengambil resiko. Tapi.. tapi mungkin suatu hari pandangan saya berubah. Ketika saya tidak dapat lagi menemukan laki-laki yang sesuai dengan saya. Ketika saya sudah lelah mencari seseorang yang terbaik untuk saya. Ketika saya sudah tidak tahan dengan kesendirian saya. Ya. Suatu hari nanti.

March 16, 2007

Dua hari yang lalu saya pergi ke pusat elektronik bersama seorang teman untuk membeli creative zen v plus yang sudah lama saya impikan semenjak produk itu muncul. Selagi melihat-lihat produk yang menghiasi jendela toko sambil terus berbicara dengan teman, saya berpapasan dengan beberapa pria yang sedang berbincang-bincang, berjalan berlawanan arah dengan saya. Bak adegan di film-film. Atau sinetron. Telenovela. Etc. Sepertinya saya mengenal salah satu dari mereka. Apakah itu dia?

Saya tidak berusaha untuk memanggilnya. Dari sudut mata, terlihat ia membalikkan badan untuk melihat saya (atau orang di belakang saya? atau salah satu produk yang ada di jendela toko di depan saya? ok, saya sudah mulai gr). Tapi saya malah mengajak (menyeret, tepatnya) teman saya untuk pergi dari sana. Kalaupun ia berniat untuk menyapa saya, saya pikir saya tidak siap untuk di sapa. Lihat saja penampilan saya! Cuma memakai celana tiga per empat andalan saya yang sudah buluk, sendal biasa, tshirt biru, tas, dan bedak ala kadarnya.
Yah, seandainya memang benar ia adalah seseorang yang saya kenal, sedikit kaget juga bertemu di tempat seperti ini tanpa sengaja. Berapa lama ya kami tidak bertemu? Setahun yang lalu? Beberapa bulan yang lalu kami hanya sempat sms, itu pun hanya karena sekedar memberi tahu saya bahwa nomornya sudah ganti. Sekarang dia terlihat tambah gemuk. Dengar-dengar sih tahun lalu dia menikah. Entah benar atau tidak, karena dia tidak pernah serius kalau berbicara dengan saya. Hmm, sudahlah!

Berputar-putar mengunjungi satu toko ke toko yang lain dengan terus menerus berpikir tentangnya, akhirnya saya menemukan tempat yang menjual produk itu dengan beda harga sepuluh ribu rupiah di bandingkan dengan toko-toko lain. Kalau mendapatkan harga yang lebih rendah, kenapa tidak? Langsung saja saya membelinya. Ketika hendak mengambil dompet dari tas, saya tidak menemukannya. Ya ampun. Kemana dompet kecil mungil saya itu? Panik melanda. Bukan duit yang saya permasalahkan. Pertama, paling susah kalau sudah kehilangan atm, ktp, sim. Untuk mengurusnya, tidak bisa hanya 2-3 hari! Yang kedua, kan malu sama mas yang melayani saya, yang sudah memasukkan produk itu ke dalam plastik putih. Akhirnya teman saya berinisiatif menelpon teman satu kos dengannya untuk meminta tolong mencari dompet saya di kamarnya. Memang sebelumnya saya mampir dulu ke kos dia untuk mengambil tas yang ia pinjam dan saya menukar tas yang saya bawa dengan tas itu.

Ternyata memang benar dompet saya ketinggalan di kamarnya. Panik pun mereda. Dan teman saya berbaik hati meminjamkan duitnya untuk saya. Akhirnya, creative zen v plus 1gb impian saya tersimpan dengan manis di tas saya kemana pun saya pergi.

March 06, 2007

Hei.. Saya sedang mencari ide nih. Ada yang lihat nggak? Kalau ada, segera kontak saya!

February 06, 2007

Nothing compares to you yang dinyanyikan Stereophonics mengalun pelan dari speaker di sudut atas ruangan ini. Jujur saja, saya lebih menyukai versi ini dibandingkan versi Sinead O'Connor. Mungkin karena suara Kelly Jones yang serak membuat saya dapat menangkap kesedihan dari lagu ini dan menikmatinya. Saya pun menyenandungkannya, tentunya dalam hati. Its been seven hours and fifteen days, since you took your love away..

Di hadapan saya, duduk seorang perempuan dengan wajah kusut. Samar-samar bisa saya lihat lingkar hitam di kedua matanya yang indah. Biasanya ia tampil percaya diri dalam kondisi apapun. Rambutnya yang tergerai indah sekarang hanya ia ikat asal-asalan. Wajahnya pucat tanpa make up. Senyum yang biasanya mengembang di bibirnya dan kecentilannya ketika bertemu saya tiba-tiba raib entah kemana.

Ia menelpon ketika saya dalam perjalanan ke coffee shop langganan saya. Hari ini sangat dingin. Hujan terus menerus mengguyur kota ini dari pagi hari. Jadi saya pikir saya perlu menghangatkan tubuh saya dengan secangkir hot chocolate. Tak sampai lima menit menunggu, ia sudah menghampiri meja saya. Cipika cipiki sebagai ritual, memesan minuman, lalu duduk terdiam di depan saya. Bukannya bertanya, saya malah mengambil rokok dari tas kemudian menyalakannya. Mata saya memandang tv bisu di hadapan saya. Berita. Tentang banjir yang melanda ibukota. Ckck, parah sekali negeri saya ini.

Pesanannya datang. Segelas frappucino kesukaannya. "Thanks," hanya itu yang keluar dari bibir tipisnya. Masih belum mau bercerita apa-apa. Saya pun terdiam. Hanya menunggu. Menunggu sampai ia sendiri yang bercerita. Tangannya memainkan gelas. Tatapannya kosong. Saya rasa tidak perlu bertanya padanya. Mungkin saja ia tidak ingin membaginya pada saya. Mungkin menunggu waktu yang tepat untuk berbicara pada saya. Mungkin juga ia sedang memilah-milah kata yang tepat untuk saya. Kemudian tangannya mengambil sebatang rokok milik saya, menyalakannya, dan sedetik kemudian menghembuskan asap putih.

Masih terdiam, ia menatap saya. Lalu,
"Lo tau nggak," ujarnya sambil memainkan rokok ditangannya. "Hampir lima taun dia pergi gitu aja dari hadapan gue. Nggak bilang satu katapun. Berhari-hari gue nunggu, berbulan-bulan, tapi tetap nggak ada kabar. Gue sempet ancur. Seharian cuma bisa ngerokok and nangis. Lost appetitte. Berat gue turun drastis. Tapi mau gimana lagi?"
Saya menanggapinya dengan tersenyum.
"Gue enggak lagi bisa nikmatin blueberry juice kesukaan gue coz setiap kali gue pesen yang ada gue inget dia. Nggak bisa makan di victoria karena itu tempat gue ma dia. Nggak bisa ketemu dengan orang yang kenal juga dengan dia. Nggak bisa pergi ke sini, nggak bisa nikmatin itu, karena terlalu banyak story yang bikin gue tambah sedih. Bisa dibilang, i lost everything". Ada jeda beberapa menit sebelum ia melanjutkan ceritanya.
"And it work! Akhirnya gue bisa lupain dia. Gue tinggalin semuanya di masa lalu. Trus ketemu Ethan," ujarnya sambil menyesap frappucino yang tinggal setengah. "Gue bahagia. Lebih bahagia ketimbang ketika jalan dengan dia. Seperti gue bilang sebelumnya, hampir lima tahun semenjak dia pergi gitu aja, gue bisa bahagia lagi. Gue bisa ketemu dengan teman-temannya tanpa ngerasa sedih. Gue bisa nikmatin blueberry juice tanpa ingat dia. Gue udah bisa inget dia sambil ketawa".
"Trus?" tanyaku. Mengambil rokok kedua.
Dia terdiam. Tangannya ikut latah mengambil rokok kedua dari punya saya. Setengah batang pun cepat ia habiskan. Tapi ia masih terdiam. Wajahnya semakin sendu. "Beberapa minggu yang lalu gue tiba-tiba ketemu dia. Biasa aja. Gue yakin, gue bisa nge-handle perasaan gue".
"Toh udah lalu. Gue cuma ketemu temen lama. Udah nggak ada cerita lagi. Gue udah punya Ethan yang entah berapa kali lebih baik dari dia". Dia tersenyum. Matanya mengaduk minumannya dengan sedotan. "Tau nggak, perkataan itu muncul berulang-ulang di otak gue pas ngobrol dengan dia. Seolah-olah ngingetin gue. Bahwa semuanya udah gue buang jauh-jauh. Bahwa gue nggak perlu nengok ke belakang. Nggak kerasa, tiga jam gue ngobrol ma dia. Dia minta no hp gue. Gue kasih tanpa minta balik.."
"Kenapa?"
"Karena gue nggak mau. Godaannya terlalu berat. Ntar gue pengen nelpon dia lagi. Lebih baik gue nggak tau. Gue cuma tau tempat kerjanya".
"Tapi nggak ngaruh kan? Kenyataannya lo tetep ngarep dia nelpon lo?" tebakku, menyesap tetes terakhir dari cangkirku.
Dia mengangguk pelan. "Bener. Ternyata, setelah ketemu dia gue malah inget masa lalu. Gue malah nyari lagi apa yang udah gue buang. Gue buka lagi memori gue tentang dia. Saking noraknya gue, sempet kebawa mimpi. Beberapa kali pula. Gila nggak sih gue?!"
"He eh. Lo emang udah gila. Liat aja penampilan lo sekarang," jawab saya sekenanya.
"Itu dia. Tau nggak, gue jadi nggak bisa makan. Kerjaan gue cuma denger lagu-lagu cengeng and ngerokok. Gue nggak bisa tidur tanpa nghayalin dia. Dan sekarang gue bener-bener berada di titik terendah gue. Pathetic abis! Gue berharap dia nelpon gue, ketemu dia lagi. Gue pengen cerita ma dia, pengen denger suaranya, pengen ngeliat dia.."
"Tapi?"
"Tapi gue nggak pernah ketemu dia lagi! Sampai sekarang dia belum juga nelpon gue!" jawabnya pelan. Kesedihan melanda dirinya. "Kenapa sih dia nggak nelpon gue? Kenapa dia nggak pernah muncul lagi di hadapan gue? Kenapa Tuhan ngasih gue kesempatan buat ketemu ma dia? Hanya untuk ngebuktiin kalo dia masih hidup? Nggak ketemu dia aja gue juga tau dia masih ada di kota ini" pertanyaan demi pertanyaan yang tidak bisa saya jawab terlontar dari mulutnya. "Kenapa sih dia jaat banget ma gue? Kenapa dia ninggalin gue? Gue stress".
"Lo nggak bisa ninggalin semua itu mungkin deep inside lo butuh jawaban atas pertanyaan lo"
"Jawaban apa?"
"Ya itu. Kenapa waktu dulu dia pergi tanpa ada penjelasan. Sekarang ketemu pun dia nggak ngasih jawaban itu ke elo. Dan elo jadi penasaran. Lo butuh jawaban dari dia. Mungkin kalo dia udah kasih tau alasannya, lo bisa relain dia pergi."
"But how? Kalo emang itu masalahnya, gimana gue bisa tau jawabannya?"
"Ya kalo lo berani, lo tanya ma dia. Selesein baik-baik"
"Come on. Nggak mungkin tiba-tiba gue nanya kenapa dulu dia pergi. Kemaren pas ketemu sih dia udah minta maaf karena dia ninggalin gue."
"Tetep lo nggak ngerasa puas kan?"
Dia mengangguk.
"Itu karena lo belum nemuin jawabannya," lanjut saya. "Lo masih penasaran ma dia. Kalo lo masih penasaran, mending lo tanya. Tapi kalo menurut lo, lo nggak bisa ngungkit masa lalu ke dia, mending lo pasrah aja. Relain semuanya. Udah selese meskipun lo nggak tau jawabannya".
Dia terdiam. Wajahnya semakin menunduk. Bahunya sedikit terguncang. Ia menangis pelan.
"Nggak semua pertanyaan ada jawabannya loh, Ra," ujar saya lembut. Kenapa teman saya ini bisa bertemu lagi dengannya? Mungkin ini hanya salah satu permainan Tuhan. Mungkin Tuhan lagi iseng sehingga timbul ide untuk mempermainkan perasaan teman saya ini. Atau mungkin Tuhan punya rencana lain dengan sengaja mempertemukan keduanya. Entahlah. Jangankan dia, sampai sekarang pun saya tidak tahu jawaban dari masalah saya. Tuhan sedang mempermainkan hidup saya.

Suara Mulan mengalun pelan, menyanyikan sebuah lagu dari album terbaru Ratu, Dear Diary. Satu lagi lagu sedih yang saya dengar di tempat ini. Saya memandang hujan dari balik jendela besar yang ada di sebelah saya. Saya suka sekali dengan hujan. Bisa berlama-lama duduk di depan jendela hanya untuk memandangnya. Tetes demi tetes membasahi jendela. Berkali-kali. Pelan-pelan saya menghela napas. Seperti kata Mulan di lagu ini, saya pun bertanya pada diri sendiri. Pujaanku.. engkau ada dimana?

January 28, 2007

Saya bosan dengan hidup saya ini. Saya bosan dengan beban yang mengikuti saya kemana pun kaki melangkah. Semuanya menumpuk di kedua bahu saya. Tanggung jawab, pekerjaan, hal-hal yang harus saya selesaikankan, due date yang kian dekat, segala rutinitas yang saya jalani, semuanya menumpuk. Sehingga membuat bahu saya sakit untuk bergerak.

Saya bosan dengan sepi. Padahal kesepian itu saya ciptakan sendiri. Saya bangun tembok tinggi yang tebal di sekeliling saya. Supaya orang lain tidak bisa menyentuh saya kecuali orang itu benar-benar kuat dapat melubangi tembok itu seperti samson (asal jangan seperti samson betawi yang jika bulu ketiaknya di cabut maka ia akan kehilangan kekuatannya). Saya memasang kaca anti peluru yang paling tebal yang pernah dibuat di sekeliling saya. Supaya orang-orang dapat melihat saya dengan jelas namun tidak dapat melihat saya dari dekat. Saya dirikan semua itu untuk membuat sarang saya sendiri.

Orang lain boleh menilai saya egois. Hanya mau bergulat dengan diri sendiri. Mungkin memang benar. Bahwa saya egois. Tapi inilah saya. Saya merasa nyaman dengan sarang yang telah saya buat. Inilah comfort zone ciptaan saya. Dapat berbuat apa pun yang saya ingini tanpa harus memikirkan orang lain suka atau tidak dengan tindakan saya. Saya sudah lelah dan bosan mendengar dan mengikuti perkataan orang lain. Inilah waktu saya untuk mendengar dan mengikuti perkataan hati saya sendiri. Hei, selama saya tidak merugikan orang lain, sah-sah saja kan? Tentu saya tahu bahwa hidup selalu dengan orang lain. Tidak mungkin saya bisa hidup tanpa orang lain. Kalo tidak, saya tidak bisa beli rokok dong? Tapi, selama saya berada di zona nyaman saya, saya tidak membutuhkan orang lain untuk diri saya.

Dan akhirnya semua ini terasa membosankan buat saya. Saya bosan dengan kesendirian saya. Saya bosan dengan kesepian saya. Saya bosan dengan pemikiran saya. Saya bosan dengan rutinitas saya. Saya bosan dengan semua tanggung jawab saya. Saya bosan dengan hati saya. Saya bosan dengan semua tindakan saya. Saya bosan dengan percakapan yang saya lakukan dengan hati saya. Saya bosan dengan hidup saya.

January 26, 2007

Saya sangat suka pemandangan di atas atap tempat tinggal saya di waktu malam. Dari sana saya dapat menatap taburan cahaya lampu yang ada di daerah atas. Berjam-jam lamanya dapat saya buang percuma hanya untuk merasakan sesuatu yang tidak dapat saya jabarkan dengan melihat semua keindahan yang terbentang di hadapan. Hawa dingin yang memeluk tubuh tak saya hiraukan. Saya cukup hangat dengan cardigan hitam, tshirt lusuh yang sudah tidak jelas lagi warnanya (tshirt lama adalah harta yang tidak ada nilainya bagi saya untuk menemani saya tidur), serta celana pendek batik.

Seperti malam-malam sebelumnya, saya pergi ke atas. Menarik bangku kayu ke tengah, duduk, mengambil satu batang rokok dan mulai menyalakannya. Menatap lampu-lampu sambil mengira-ngira letak The View. Yang paling atas? Atau yang di ujung? Tiba-tiba saya kangen dengan masa lalu. Seorang teman pria pernah beberapa kali 'menculik' saya untuk menemaninya makan di sana. Entah hanya berdua saja, atau dengan sepasang teman dekatnya. Satu hal yang selalu terjadi setiap kami ke sana adalah saya lupa membawa jaket tanpa sengaja. Selalu begitu. Dan sebagai pria sejati, tentunya ia meminjami jaketnya pada saya tanpa saya pinta. Menyuruh, tepatnya. Dia tahu kapan batas ketahanan tubuh saya tanpa saya bilang. Kalau dipikir-pikir, hampir setiap kali kami jalan sepertinya ia mengetahui apa yang saya pikirkan. Ia akan mengajak saya makan soto jakarta ketika saya baru berpikir, "enak kayaknya makan soto jakarta sekarang". Ketika saya bertengkar dengan pacar saya waktu itu, tanpa berkeluh kesah padanya, ia tahu begitu saya datang ke kosnya. Atau ketika saya ingin pergi ke toko buku walaupun hanya sekedar melihat-lihat saja, ia pun mengajak saya pergi ke sana. Dan masih banyak lagi kebetulan-kebetulan seperti itu. Ia teman pria yang paling dekat yang pernah saya miliki. Buku, musik, bilyar, jalan merupakan hobi kami. Kami penikmat makanan enak. Baik murah maupun mahal sekalipun. Tak jarang saya menginap di kosnya. Sebagai pria, dia sangat memahami masalah perempuan. Walaupun tak jarang ia memarahi saya karena sikap feminin saya yang tidak masuk akal baginya maupun pria mana pun. Kami sering berlama-lama di tempat bilyar. Ia yang pertama kali mengenalkan bilyar pada saya. Belajar dengannya sampai saya jatuh cinta pada olahraga ini. Ketika saya sudah lebih pintar dari waktu dulu, saya tidak sempat bermain dengannya. Ia pindah ke kota lain untuk melebarkan sayap usaha mamanya dari dua tahun yang lalu. Kami jadi jarang berkomunikasi karena waktu dekat pun kami jarang menelpon or sms. Saya atau dia lebih suka bertemu. Hp menjadi ajang janjian saja. Tapi setiap kali ia datang ke kota ini, pasti ia menelpon saya untuk bertemu.

Tak terasa tiga batang rokok sudah saya hisap selagi mengulang kisah saya dengan teman saya itu dalam pikiran. Sayup-sayup terdengar lagu yang entah dari mana asalnya. Sebuah lagu lama yang kebetulan waktu dulu merupakan lagu wajib saya. Ketika saya jatuh cinta dengan orang yang salah. Yang selalu membuat saya menunggu dan menunggu. Yang ceritanya sudah saya kubur beberapa waktu lalu. Dan malam ini kembali rasa itu datang menghampiri..

.. lelah menunggu cinta yang kunanti jangan kau menilai arti kisah dulu
terimalah apa adanya diriku bila maafmu mencintai kasihku
biarlah tersimpan cerita hidupku..
Dimensi - bila

January 17, 2007

Saya menyukai pantai dimana saya berada sekarang ini. Belum banyak orang yang tahu tentang tempat ini. Tapi, walaupun mereka mengetahuinya, belum tentu mereka dapat menemukan saya. Letaknya memang agak tersembunyi dari pandangan orang-orang yang tahu pantai ini. Tempat ini menjadi pelarian saya. Persembunyian yang sangat tepat untuk saya ketika tidak ingin bertemu dengan siapa pun termasuk orang yang asing sekalipun.

Saya menemukannya secara tidak sengaja ketika hendak menghindar dari seseorang yang beberapa waktu lalu memenuhi pikiran dan hati saya. Terlalu menyedihkan untuk menemuinya di tempat yang sama. Terlalu sakit untuk merasakan genggaman tangannya yang hangat. Terlalu pedih memandangnya walaupun saya tahu ia selalu, selalu memandang saya dari kejauhan dengan tatapannya yang teduh. Terlalu lelah mendengarkan kata-kata cinta yang diucapkannya sementara saya tahu dia bukan hanya milik saya. Terlalu. Terlalu. Tapi saya terlalu lemah untuk berpaling darinya..

Disini sangat sepi. Yang terdengar hanyalah deburan ombak memecah batu karang. Sehingga saya dapat mendengarkan suara lembut dari hati. Sehingga saya dapat bermain-main dengan pikiran. Sehingga saya tahu, hanya ada satu cara yang dapat saya lakukan: bahwa saya harus menghentikan semua ini. Ya. Dari diri inilah saya harus menghentikannya. Bukankah musuh terbesar kita adalah diri sendiri? Tapi saya tahu. Seperti laut yang selalu kembali menyentuh pantai dan meninggal jejak yang lembut di atas pasir, begitu juga dengan saya. Saya pasti selalu kembali padanya begitu meninggalkan tempat ini. Walaupun saya tahu hati ini lelah. Entah apa yang membuat saya tidak jadi meninggalkannya. Mungkin saya menunggu waktu yang tepat. Mungkin juga saya menunggu ia yang meninggalkan saya sendiri. Mungkin dibenak saya berpikir lebih baik begitu. Atau mungkin saya memang seorang perempuan tolol dan lemah yang tidak bisa menghargai diri sendiri.

Saya menyapa laut, membiarkannya membasahi rok coklat yang pernah saya pakai di kencan pertama kami dulu. Saya ingat, ia memuji ketika saya telah membuatnya menunggu di teras depan selama hampir satu setengah jam hanya karena saya terlalu bingung ingin memakai baju apa! Belum lagi ia memberikan setangkai mawar merah sebagai kejutan di setiap waktu. Selalu sabar menghadapi saya yang sedang pms dimana semua lelaki menjauh dari saya karena takut dimaki. Kejadian demi kejadian berdansa di depan mata saya. Ah, begitu banyak kenangan manis diantara saya dan dia.

Dan sekarang saya sendirian disini. Merayakan keberhasilan saya menjadi perempuan yang akhirnya terlalu pintar untuk disakiti olehnya. Sesuatu hilang dari diri ini. Harusnya saya senang dengan semua ini. Masalah yang membuat saya tidak dapat tidur di malam-malam tanpanya telah hilang. Tapi kenapa air mata jatuh tidak ada habisnya?

Tiada lagi bisik suaramu
yang senantiasa ucapkan kata cinta
tiada lagi kurasa belaimu
disaat hati ini tak tenang

Tiada lelah air mata
kuhanya bisa memandangmu
bagai lukisan dirimu

Meski ragamu tak lagi menyentuhku
jiwa ini takkan lepas dari dirimu
walaupun ini harus terjadi
kutahu kita kan abadi slamanya..

Ku yakin engkau slalu memandangku
karena jiwa ini tak kan lepas darimu
walaupun ini harus terjadi
kutahu kita kan..
abadi slamanya..

Alena - Tlah Pergi