January 17, 2007

Saya menyukai pantai dimana saya berada sekarang ini. Belum banyak orang yang tahu tentang tempat ini. Tapi, walaupun mereka mengetahuinya, belum tentu mereka dapat menemukan saya. Letaknya memang agak tersembunyi dari pandangan orang-orang yang tahu pantai ini. Tempat ini menjadi pelarian saya. Persembunyian yang sangat tepat untuk saya ketika tidak ingin bertemu dengan siapa pun termasuk orang yang asing sekalipun.

Saya menemukannya secara tidak sengaja ketika hendak menghindar dari seseorang yang beberapa waktu lalu memenuhi pikiran dan hati saya. Terlalu menyedihkan untuk menemuinya di tempat yang sama. Terlalu sakit untuk merasakan genggaman tangannya yang hangat. Terlalu pedih memandangnya walaupun saya tahu ia selalu, selalu memandang saya dari kejauhan dengan tatapannya yang teduh. Terlalu lelah mendengarkan kata-kata cinta yang diucapkannya sementara saya tahu dia bukan hanya milik saya. Terlalu. Terlalu. Tapi saya terlalu lemah untuk berpaling darinya..

Disini sangat sepi. Yang terdengar hanyalah deburan ombak memecah batu karang. Sehingga saya dapat mendengarkan suara lembut dari hati. Sehingga saya dapat bermain-main dengan pikiran. Sehingga saya tahu, hanya ada satu cara yang dapat saya lakukan: bahwa saya harus menghentikan semua ini. Ya. Dari diri inilah saya harus menghentikannya. Bukankah musuh terbesar kita adalah diri sendiri? Tapi saya tahu. Seperti laut yang selalu kembali menyentuh pantai dan meninggal jejak yang lembut di atas pasir, begitu juga dengan saya. Saya pasti selalu kembali padanya begitu meninggalkan tempat ini. Walaupun saya tahu hati ini lelah. Entah apa yang membuat saya tidak jadi meninggalkannya. Mungkin saya menunggu waktu yang tepat. Mungkin juga saya menunggu ia yang meninggalkan saya sendiri. Mungkin dibenak saya berpikir lebih baik begitu. Atau mungkin saya memang seorang perempuan tolol dan lemah yang tidak bisa menghargai diri sendiri.

Saya menyapa laut, membiarkannya membasahi rok coklat yang pernah saya pakai di kencan pertama kami dulu. Saya ingat, ia memuji ketika saya telah membuatnya menunggu di teras depan selama hampir satu setengah jam hanya karena saya terlalu bingung ingin memakai baju apa! Belum lagi ia memberikan setangkai mawar merah sebagai kejutan di setiap waktu. Selalu sabar menghadapi saya yang sedang pms dimana semua lelaki menjauh dari saya karena takut dimaki. Kejadian demi kejadian berdansa di depan mata saya. Ah, begitu banyak kenangan manis diantara saya dan dia.

Dan sekarang saya sendirian disini. Merayakan keberhasilan saya menjadi perempuan yang akhirnya terlalu pintar untuk disakiti olehnya. Sesuatu hilang dari diri ini. Harusnya saya senang dengan semua ini. Masalah yang membuat saya tidak dapat tidur di malam-malam tanpanya telah hilang. Tapi kenapa air mata jatuh tidak ada habisnya?

Tiada lagi bisik suaramu
yang senantiasa ucapkan kata cinta
tiada lagi kurasa belaimu
disaat hati ini tak tenang

Tiada lelah air mata
kuhanya bisa memandangmu
bagai lukisan dirimu

Meski ragamu tak lagi menyentuhku
jiwa ini takkan lepas dari dirimu
walaupun ini harus terjadi
kutahu kita kan abadi slamanya..

Ku yakin engkau slalu memandangku
karena jiwa ini tak kan lepas darimu
walaupun ini harus terjadi
kutahu kita kan..
abadi slamanya..

Alena - Tlah Pergi

4 comments:

kodokijo said...

di pantai itu bisa buat mancing gak ? *ajie-mancinger

!ariwwok said...

pantai.. gunung..
merenung.. merenung..

Rinto said...

masih main ke pantai? Bawa rokok putih? Kurang gaya... hehehe.... kudunya pakaian yang putih, lalu basah kena keringat.... nah, seksi abies tuh.... kapan2 pengen juga berjalan ke pantai.... berdua, bergenggaman, merasakan kehangatan wuih.....

ule said...

ajitekom : mungkin bisa. tapi harus cari spot yang enak. haha.. nggak tau. saya nggak suka mancing soalnya. sabar saya bukan buat ikan sih :p

ariwwok!: yup..

rinto : siapa lagi teman saya yang paling setia dan nggak neko2 kecuali rokok putih?
pakaian yang putih? aduh, bukan gaya saya!