January 28, 2007

Saya bosan dengan hidup saya ini. Saya bosan dengan beban yang mengikuti saya kemana pun kaki melangkah. Semuanya menumpuk di kedua bahu saya. Tanggung jawab, pekerjaan, hal-hal yang harus saya selesaikankan, due date yang kian dekat, segala rutinitas yang saya jalani, semuanya menumpuk. Sehingga membuat bahu saya sakit untuk bergerak.

Saya bosan dengan sepi. Padahal kesepian itu saya ciptakan sendiri. Saya bangun tembok tinggi yang tebal di sekeliling saya. Supaya orang lain tidak bisa menyentuh saya kecuali orang itu benar-benar kuat dapat melubangi tembok itu seperti samson (asal jangan seperti samson betawi yang jika bulu ketiaknya di cabut maka ia akan kehilangan kekuatannya). Saya memasang kaca anti peluru yang paling tebal yang pernah dibuat di sekeliling saya. Supaya orang-orang dapat melihat saya dengan jelas namun tidak dapat melihat saya dari dekat. Saya dirikan semua itu untuk membuat sarang saya sendiri.

Orang lain boleh menilai saya egois. Hanya mau bergulat dengan diri sendiri. Mungkin memang benar. Bahwa saya egois. Tapi inilah saya. Saya merasa nyaman dengan sarang yang telah saya buat. Inilah comfort zone ciptaan saya. Dapat berbuat apa pun yang saya ingini tanpa harus memikirkan orang lain suka atau tidak dengan tindakan saya. Saya sudah lelah dan bosan mendengar dan mengikuti perkataan orang lain. Inilah waktu saya untuk mendengar dan mengikuti perkataan hati saya sendiri. Hei, selama saya tidak merugikan orang lain, sah-sah saja kan? Tentu saya tahu bahwa hidup selalu dengan orang lain. Tidak mungkin saya bisa hidup tanpa orang lain. Kalo tidak, saya tidak bisa beli rokok dong? Tapi, selama saya berada di zona nyaman saya, saya tidak membutuhkan orang lain untuk diri saya.

Dan akhirnya semua ini terasa membosankan buat saya. Saya bosan dengan kesendirian saya. Saya bosan dengan kesepian saya. Saya bosan dengan pemikiran saya. Saya bosan dengan rutinitas saya. Saya bosan dengan semua tanggung jawab saya. Saya bosan dengan hati saya. Saya bosan dengan semua tindakan saya. Saya bosan dengan percakapan yang saya lakukan dengan hati saya. Saya bosan dengan hidup saya.

January 26, 2007

Saya sangat suka pemandangan di atas atap tempat tinggal saya di waktu malam. Dari sana saya dapat menatap taburan cahaya lampu yang ada di daerah atas. Berjam-jam lamanya dapat saya buang percuma hanya untuk merasakan sesuatu yang tidak dapat saya jabarkan dengan melihat semua keindahan yang terbentang di hadapan. Hawa dingin yang memeluk tubuh tak saya hiraukan. Saya cukup hangat dengan cardigan hitam, tshirt lusuh yang sudah tidak jelas lagi warnanya (tshirt lama adalah harta yang tidak ada nilainya bagi saya untuk menemani saya tidur), serta celana pendek batik.

Seperti malam-malam sebelumnya, saya pergi ke atas. Menarik bangku kayu ke tengah, duduk, mengambil satu batang rokok dan mulai menyalakannya. Menatap lampu-lampu sambil mengira-ngira letak The View. Yang paling atas? Atau yang di ujung? Tiba-tiba saya kangen dengan masa lalu. Seorang teman pria pernah beberapa kali 'menculik' saya untuk menemaninya makan di sana. Entah hanya berdua saja, atau dengan sepasang teman dekatnya. Satu hal yang selalu terjadi setiap kami ke sana adalah saya lupa membawa jaket tanpa sengaja. Selalu begitu. Dan sebagai pria sejati, tentunya ia meminjami jaketnya pada saya tanpa saya pinta. Menyuruh, tepatnya. Dia tahu kapan batas ketahanan tubuh saya tanpa saya bilang. Kalau dipikir-pikir, hampir setiap kali kami jalan sepertinya ia mengetahui apa yang saya pikirkan. Ia akan mengajak saya makan soto jakarta ketika saya baru berpikir, "enak kayaknya makan soto jakarta sekarang". Ketika saya bertengkar dengan pacar saya waktu itu, tanpa berkeluh kesah padanya, ia tahu begitu saya datang ke kosnya. Atau ketika saya ingin pergi ke toko buku walaupun hanya sekedar melihat-lihat saja, ia pun mengajak saya pergi ke sana. Dan masih banyak lagi kebetulan-kebetulan seperti itu. Ia teman pria yang paling dekat yang pernah saya miliki. Buku, musik, bilyar, jalan merupakan hobi kami. Kami penikmat makanan enak. Baik murah maupun mahal sekalipun. Tak jarang saya menginap di kosnya. Sebagai pria, dia sangat memahami masalah perempuan. Walaupun tak jarang ia memarahi saya karena sikap feminin saya yang tidak masuk akal baginya maupun pria mana pun. Kami sering berlama-lama di tempat bilyar. Ia yang pertama kali mengenalkan bilyar pada saya. Belajar dengannya sampai saya jatuh cinta pada olahraga ini. Ketika saya sudah lebih pintar dari waktu dulu, saya tidak sempat bermain dengannya. Ia pindah ke kota lain untuk melebarkan sayap usaha mamanya dari dua tahun yang lalu. Kami jadi jarang berkomunikasi karena waktu dekat pun kami jarang menelpon or sms. Saya atau dia lebih suka bertemu. Hp menjadi ajang janjian saja. Tapi setiap kali ia datang ke kota ini, pasti ia menelpon saya untuk bertemu.

Tak terasa tiga batang rokok sudah saya hisap selagi mengulang kisah saya dengan teman saya itu dalam pikiran. Sayup-sayup terdengar lagu yang entah dari mana asalnya. Sebuah lagu lama yang kebetulan waktu dulu merupakan lagu wajib saya. Ketika saya jatuh cinta dengan orang yang salah. Yang selalu membuat saya menunggu dan menunggu. Yang ceritanya sudah saya kubur beberapa waktu lalu. Dan malam ini kembali rasa itu datang menghampiri..

.. lelah menunggu cinta yang kunanti jangan kau menilai arti kisah dulu
terimalah apa adanya diriku bila maafmu mencintai kasihku
biarlah tersimpan cerita hidupku..
Dimensi - bila

January 17, 2007

Saya menyukai pantai dimana saya berada sekarang ini. Belum banyak orang yang tahu tentang tempat ini. Tapi, walaupun mereka mengetahuinya, belum tentu mereka dapat menemukan saya. Letaknya memang agak tersembunyi dari pandangan orang-orang yang tahu pantai ini. Tempat ini menjadi pelarian saya. Persembunyian yang sangat tepat untuk saya ketika tidak ingin bertemu dengan siapa pun termasuk orang yang asing sekalipun.

Saya menemukannya secara tidak sengaja ketika hendak menghindar dari seseorang yang beberapa waktu lalu memenuhi pikiran dan hati saya. Terlalu menyedihkan untuk menemuinya di tempat yang sama. Terlalu sakit untuk merasakan genggaman tangannya yang hangat. Terlalu pedih memandangnya walaupun saya tahu ia selalu, selalu memandang saya dari kejauhan dengan tatapannya yang teduh. Terlalu lelah mendengarkan kata-kata cinta yang diucapkannya sementara saya tahu dia bukan hanya milik saya. Terlalu. Terlalu. Tapi saya terlalu lemah untuk berpaling darinya..

Disini sangat sepi. Yang terdengar hanyalah deburan ombak memecah batu karang. Sehingga saya dapat mendengarkan suara lembut dari hati. Sehingga saya dapat bermain-main dengan pikiran. Sehingga saya tahu, hanya ada satu cara yang dapat saya lakukan: bahwa saya harus menghentikan semua ini. Ya. Dari diri inilah saya harus menghentikannya. Bukankah musuh terbesar kita adalah diri sendiri? Tapi saya tahu. Seperti laut yang selalu kembali menyentuh pantai dan meninggal jejak yang lembut di atas pasir, begitu juga dengan saya. Saya pasti selalu kembali padanya begitu meninggalkan tempat ini. Walaupun saya tahu hati ini lelah. Entah apa yang membuat saya tidak jadi meninggalkannya. Mungkin saya menunggu waktu yang tepat. Mungkin juga saya menunggu ia yang meninggalkan saya sendiri. Mungkin dibenak saya berpikir lebih baik begitu. Atau mungkin saya memang seorang perempuan tolol dan lemah yang tidak bisa menghargai diri sendiri.

Saya menyapa laut, membiarkannya membasahi rok coklat yang pernah saya pakai di kencan pertama kami dulu. Saya ingat, ia memuji ketika saya telah membuatnya menunggu di teras depan selama hampir satu setengah jam hanya karena saya terlalu bingung ingin memakai baju apa! Belum lagi ia memberikan setangkai mawar merah sebagai kejutan di setiap waktu. Selalu sabar menghadapi saya yang sedang pms dimana semua lelaki menjauh dari saya karena takut dimaki. Kejadian demi kejadian berdansa di depan mata saya. Ah, begitu banyak kenangan manis diantara saya dan dia.

Dan sekarang saya sendirian disini. Merayakan keberhasilan saya menjadi perempuan yang akhirnya terlalu pintar untuk disakiti olehnya. Sesuatu hilang dari diri ini. Harusnya saya senang dengan semua ini. Masalah yang membuat saya tidak dapat tidur di malam-malam tanpanya telah hilang. Tapi kenapa air mata jatuh tidak ada habisnya?

Tiada lagi bisik suaramu
yang senantiasa ucapkan kata cinta
tiada lagi kurasa belaimu
disaat hati ini tak tenang

Tiada lelah air mata
kuhanya bisa memandangmu
bagai lukisan dirimu

Meski ragamu tak lagi menyentuhku
jiwa ini takkan lepas dari dirimu
walaupun ini harus terjadi
kutahu kita kan abadi slamanya..

Ku yakin engkau slalu memandangku
karena jiwa ini tak kan lepas darimu
walaupun ini harus terjadi
kutahu kita kan..
abadi slamanya..

Alena - Tlah Pergi