January 26, 2007

Saya sangat suka pemandangan di atas atap tempat tinggal saya di waktu malam. Dari sana saya dapat menatap taburan cahaya lampu yang ada di daerah atas. Berjam-jam lamanya dapat saya buang percuma hanya untuk merasakan sesuatu yang tidak dapat saya jabarkan dengan melihat semua keindahan yang terbentang di hadapan. Hawa dingin yang memeluk tubuh tak saya hiraukan. Saya cukup hangat dengan cardigan hitam, tshirt lusuh yang sudah tidak jelas lagi warnanya (tshirt lama adalah harta yang tidak ada nilainya bagi saya untuk menemani saya tidur), serta celana pendek batik.

Seperti malam-malam sebelumnya, saya pergi ke atas. Menarik bangku kayu ke tengah, duduk, mengambil satu batang rokok dan mulai menyalakannya. Menatap lampu-lampu sambil mengira-ngira letak The View. Yang paling atas? Atau yang di ujung? Tiba-tiba saya kangen dengan masa lalu. Seorang teman pria pernah beberapa kali 'menculik' saya untuk menemaninya makan di sana. Entah hanya berdua saja, atau dengan sepasang teman dekatnya. Satu hal yang selalu terjadi setiap kami ke sana adalah saya lupa membawa jaket tanpa sengaja. Selalu begitu. Dan sebagai pria sejati, tentunya ia meminjami jaketnya pada saya tanpa saya pinta. Menyuruh, tepatnya. Dia tahu kapan batas ketahanan tubuh saya tanpa saya bilang. Kalau dipikir-pikir, hampir setiap kali kami jalan sepertinya ia mengetahui apa yang saya pikirkan. Ia akan mengajak saya makan soto jakarta ketika saya baru berpikir, "enak kayaknya makan soto jakarta sekarang". Ketika saya bertengkar dengan pacar saya waktu itu, tanpa berkeluh kesah padanya, ia tahu begitu saya datang ke kosnya. Atau ketika saya ingin pergi ke toko buku walaupun hanya sekedar melihat-lihat saja, ia pun mengajak saya pergi ke sana. Dan masih banyak lagi kebetulan-kebetulan seperti itu. Ia teman pria yang paling dekat yang pernah saya miliki. Buku, musik, bilyar, jalan merupakan hobi kami. Kami penikmat makanan enak. Baik murah maupun mahal sekalipun. Tak jarang saya menginap di kosnya. Sebagai pria, dia sangat memahami masalah perempuan. Walaupun tak jarang ia memarahi saya karena sikap feminin saya yang tidak masuk akal baginya maupun pria mana pun. Kami sering berlama-lama di tempat bilyar. Ia yang pertama kali mengenalkan bilyar pada saya. Belajar dengannya sampai saya jatuh cinta pada olahraga ini. Ketika saya sudah lebih pintar dari waktu dulu, saya tidak sempat bermain dengannya. Ia pindah ke kota lain untuk melebarkan sayap usaha mamanya dari dua tahun yang lalu. Kami jadi jarang berkomunikasi karena waktu dekat pun kami jarang menelpon or sms. Saya atau dia lebih suka bertemu. Hp menjadi ajang janjian saja. Tapi setiap kali ia datang ke kota ini, pasti ia menelpon saya untuk bertemu.

Tak terasa tiga batang rokok sudah saya hisap selagi mengulang kisah saya dengan teman saya itu dalam pikiran. Sayup-sayup terdengar lagu yang entah dari mana asalnya. Sebuah lagu lama yang kebetulan waktu dulu merupakan lagu wajib saya. Ketika saya jatuh cinta dengan orang yang salah. Yang selalu membuat saya menunggu dan menunggu. Yang ceritanya sudah saya kubur beberapa waktu lalu. Dan malam ini kembali rasa itu datang menghampiri..

.. lelah menunggu cinta yang kunanti jangan kau menilai arti kisah dulu
terimalah apa adanya diriku bila maafmu mencintai kasihku
biarlah tersimpan cerita hidupku..
Dimensi - bila

2 comments:

Anonymous said...

mmm...
lagu dimensi..
di mana ya..saya bisa dapt lagu itu..?
lagu yang penuh kenangan..

-imgar-

Anonymous said...

tentunya di saya! tapi saya nggak ngerti mau naruh filenya dimana... hmm...