April 11, 2007

Menikah belum menjadi pilihan saya saat ini. Padahal umur saya sudah cukup dan orangtua mengharapkan anak bungsu mereka menikah secepatnya. Saya masih ingin main, masih belum mau mengurusi orang lain. Cukup diri sendiri yang saya urus. Tidak perlu bilang mau kemana saya pergi, apa yang saya lakukan, mau makan apa, semuanya terserah saya. Memang, orang yang menikah sekarang berbeda dengan jaman dulu yang selalu harus meladeni sang suami. Tapi saya memang belum ada niat untuk ke arah sana.

Hampir setiap saat orangtua saya —terutama ibu, menyinggung hal ini pada saya. Ketika saya pulang malam sehabis kerja atau main, yang terlontar dibibir ibu adalah, "Mau jadi apa kamu jam segini baru pulang?". Kalau sudah begini, yang saya lakukan hanyalah mencium pipinya lalu masuk kamar. Rasanya kuping ini sudah kebal mendengarnya. Kalau waktu dulu saya berani membantah, berdiam diri adalah pilihan saya sekarang. Ibu dan bapak tidak pernah mengerti kalau pegawai swasta seperti saya tidak seperti pegawai negeri yang bisa pulang jam 5 atau bahkan sebelumnya. Memangnya kenapa kalau saya pulang malam? Toh karena kerjaan, atau karena saya jarang sekali punya waktu bermain mengingat kerjaan yang terus menerus menumpuk.
"Inget umur, jangan kerjaan aja yang dipikirin. Waktu ibu seumuran denganmu, ibu sudah punya dua anak—"
Itu kan dulu, ujar saya dalam hati. Sekarang sudah banyak perempuan yang belum menikah, ibu. Bahkan, ada yang sudah berumur 35 tahun keatas belum menikah. Memangnya hidup ini harus cepat-cepat menikah?
"Anaknya bu Umar yang seangkatan ma kamu kemarin menikah—"
Ya kalau ia sudah siap, kenapa nggak? hati saya menyahut. Bibir ini tetap diam. Untuk apa saya meladeninya? Hanya bikin capek hati.
"Kata mbak Dini, Cilla sudah melahirkan minggu lalu. Kamu kalah. Bapak dan Ibu sudah tua. Kami ingin melihat cucu dari kamu"
Raut wajah saya tidak berubah. Apa saya harus mengadopsi anak? Atau mencari sperma unggul di bank sperma?
"Cari suami yang bibit bebet bobotnya bagus. Seagama, punya masa depan yang bagus, nggak cuma sayang ma kamu aja, tapi dengan keluarga kamu—"
Seperti Mas Jaka? Suami mbak Ria, kakak saya yang kedua. Orangnya sopan, baik, dari keluarga yang baik-baik, tutur kata yang halus dan masih segudang kebaikannya. Masa depan mbak Ria terjamin dengan pekerjaan mas Jaka sebagai pengacara. Tak heran kalau kehidupan rumah tanggak mbak Ria melebihi rumah tangga mbak Dini yang hanya bersuamikan dosen negeri. Tapi sayang, mbak Ria lebih memilih keluarga mas Jaka dibandingkan ibu. Misal, ketika lebaran tiba mbak Ria hanya memberi ibu 2 macam kue sedangkan untuk keluarga mas Jaka mbak Ria membeli 5 macam kue lebaran serta berplastik-plastik buah tangan untuk ponakan-ponakan mas Jaka. Belum lagi mbak Ria sibuk mengunjungi keluarga mas Jaka dibandingkan dengan ke rumah ibu yang hanya bisa dihitung dengan jari. Ketika mbak Dini, mas Riza, ibu, serta saya di rumah sibuk berbenah rumah menjelang lebaran karena si Nah pulang kampung, mbak Ria dan mas Jaka hanya ongkang-ongkang kaki di kamar. Seperti itu?
"Kamu belum ngerasain punya anak sih," ujar ibu pada saya ketika saya marah gara-gara anaknya mbak Ria berkali-kali membuat kamar saya seperti kapal pecah dengan mainan dimana-mana serta tempat tidur yang berantakan gara-gara suka melompat-lompat diatasnya, membuat mbak Ria memusuhi saya. Bukan hanya mbak Ria, mas Jaka pun ikut memusuhi saya. Kata mbak Ria, saya tidak menghormatinya dan mas Jaka. Lho, harusnya kan anak dididik untuk bertanggung jawab sejak kecil. Bandingkan dengan anak mbak Dini. Yan hampir selalu membereskan robot, kartu dan segala mainannya sehabis ia bermain (kecuali sedang ngambek). Ia pun tahu kalau saya tidak suka kamar saya dipenuhi dengan mainan, selalu membawa mainannya ketika keluar dari kamar saya. "Ya kan nanti juga bakalan diberesin," ujar mbak Ria membela diri. "Kalo diomongin baik-baik Dani juga bakalan mau ngeberesin kok" Saya kok tidak yakin. Terlalu banyak kejadian seperti ini. Sampai malam pun mainan-mainan tetap berserakan di semua sudut ruang tv. Saya paling sebal kalau Dani membiarkan mainan begitu saja. Memangnya enak menginjak tentara kecil yang tergeletak dengan senjata mengarah ke atas? Atau terpeleset gara-gara air yang menetes dari pistol air?

Sejujurnya, saya tidak mau mendapatkan suami seperti mas Jaka. Memang dia baik, terpelajar, masa depan cerah. Tapi entah di sengaja atau tidak, ia selalu berbicara yang memojokkan keluarga kami. Bapak yang selalu teliti terhadap apapun, ibu yang selalu cerewet jika melihat Dani memanjat pohon atau main sepeda kencang-kencang, saya yang super duper cerewet, etc. Sepertinya saya tidak rela keluarga saya lecehkan seperti itu. Memangnya salah jika bapak menghitung kembali apa-apa saja yang telah kami makan di restauran? Ya maklum saja, dari dulu bapak memang teliti dalam segala hal. Atau ibu yang selalu melarang Dani memanjat pohon atau main sepeda kencang-kencang? Sebagai nenek, tentu saja beliau tidak mau melihat cucunya terluka. Saya tidak bisa mendengar curhatan ibu mengenai omongan mas Jaka. Tidak sering sih, tapi cukup membuat saya sedih.
Jika suatu saat saya menjadi seorang istri, saya pun tidak mau seperti mbak Ria. Masak hanya gara-gara saya mempunyai suami, saya harus mengikuti apa kata suami tentang keluarga saya, atau lebih memilih keluarga suami dibandingkan keluarga saya sendiri?

Seperti yang saya tulis diatas, pernikahan bukan pilihan saya sekarang. Tidak perlu terburu-buru mencari sosok suami yang ideal hanya karena umur. Ah, sepertinya nanti saya adalah seorang istri yang bandel!