February 06, 2007

Nothing compares to you yang dinyanyikan Stereophonics mengalun pelan dari speaker di sudut atas ruangan ini. Jujur saja, saya lebih menyukai versi ini dibandingkan versi Sinead O'Connor. Mungkin karena suara Kelly Jones yang serak membuat saya dapat menangkap kesedihan dari lagu ini dan menikmatinya. Saya pun menyenandungkannya, tentunya dalam hati. Its been seven hours and fifteen days, since you took your love away..

Di hadapan saya, duduk seorang perempuan dengan wajah kusut. Samar-samar bisa saya lihat lingkar hitam di kedua matanya yang indah. Biasanya ia tampil percaya diri dalam kondisi apapun. Rambutnya yang tergerai indah sekarang hanya ia ikat asal-asalan. Wajahnya pucat tanpa make up. Senyum yang biasanya mengembang di bibirnya dan kecentilannya ketika bertemu saya tiba-tiba raib entah kemana.

Ia menelpon ketika saya dalam perjalanan ke coffee shop langganan saya. Hari ini sangat dingin. Hujan terus menerus mengguyur kota ini dari pagi hari. Jadi saya pikir saya perlu menghangatkan tubuh saya dengan secangkir hot chocolate. Tak sampai lima menit menunggu, ia sudah menghampiri meja saya. Cipika cipiki sebagai ritual, memesan minuman, lalu duduk terdiam di depan saya. Bukannya bertanya, saya malah mengambil rokok dari tas kemudian menyalakannya. Mata saya memandang tv bisu di hadapan saya. Berita. Tentang banjir yang melanda ibukota. Ckck, parah sekali negeri saya ini.

Pesanannya datang. Segelas frappucino kesukaannya. "Thanks," hanya itu yang keluar dari bibir tipisnya. Masih belum mau bercerita apa-apa. Saya pun terdiam. Hanya menunggu. Menunggu sampai ia sendiri yang bercerita. Tangannya memainkan gelas. Tatapannya kosong. Saya rasa tidak perlu bertanya padanya. Mungkin saja ia tidak ingin membaginya pada saya. Mungkin menunggu waktu yang tepat untuk berbicara pada saya. Mungkin juga ia sedang memilah-milah kata yang tepat untuk saya. Kemudian tangannya mengambil sebatang rokok milik saya, menyalakannya, dan sedetik kemudian menghembuskan asap putih.

Masih terdiam, ia menatap saya. Lalu,
"Lo tau nggak," ujarnya sambil memainkan rokok ditangannya. "Hampir lima taun dia pergi gitu aja dari hadapan gue. Nggak bilang satu katapun. Berhari-hari gue nunggu, berbulan-bulan, tapi tetap nggak ada kabar. Gue sempet ancur. Seharian cuma bisa ngerokok and nangis. Lost appetitte. Berat gue turun drastis. Tapi mau gimana lagi?"
Saya menanggapinya dengan tersenyum.
"Gue enggak lagi bisa nikmatin blueberry juice kesukaan gue coz setiap kali gue pesen yang ada gue inget dia. Nggak bisa makan di victoria karena itu tempat gue ma dia. Nggak bisa ketemu dengan orang yang kenal juga dengan dia. Nggak bisa pergi ke sini, nggak bisa nikmatin itu, karena terlalu banyak story yang bikin gue tambah sedih. Bisa dibilang, i lost everything". Ada jeda beberapa menit sebelum ia melanjutkan ceritanya.
"And it work! Akhirnya gue bisa lupain dia. Gue tinggalin semuanya di masa lalu. Trus ketemu Ethan," ujarnya sambil menyesap frappucino yang tinggal setengah. "Gue bahagia. Lebih bahagia ketimbang ketika jalan dengan dia. Seperti gue bilang sebelumnya, hampir lima tahun semenjak dia pergi gitu aja, gue bisa bahagia lagi. Gue bisa ketemu dengan teman-temannya tanpa ngerasa sedih. Gue bisa nikmatin blueberry juice tanpa ingat dia. Gue udah bisa inget dia sambil ketawa".
"Trus?" tanyaku. Mengambil rokok kedua.
Dia terdiam. Tangannya ikut latah mengambil rokok kedua dari punya saya. Setengah batang pun cepat ia habiskan. Tapi ia masih terdiam. Wajahnya semakin sendu. "Beberapa minggu yang lalu gue tiba-tiba ketemu dia. Biasa aja. Gue yakin, gue bisa nge-handle perasaan gue".
"Toh udah lalu. Gue cuma ketemu temen lama. Udah nggak ada cerita lagi. Gue udah punya Ethan yang entah berapa kali lebih baik dari dia". Dia tersenyum. Matanya mengaduk minumannya dengan sedotan. "Tau nggak, perkataan itu muncul berulang-ulang di otak gue pas ngobrol dengan dia. Seolah-olah ngingetin gue. Bahwa semuanya udah gue buang jauh-jauh. Bahwa gue nggak perlu nengok ke belakang. Nggak kerasa, tiga jam gue ngobrol ma dia. Dia minta no hp gue. Gue kasih tanpa minta balik.."
"Kenapa?"
"Karena gue nggak mau. Godaannya terlalu berat. Ntar gue pengen nelpon dia lagi. Lebih baik gue nggak tau. Gue cuma tau tempat kerjanya".
"Tapi nggak ngaruh kan? Kenyataannya lo tetep ngarep dia nelpon lo?" tebakku, menyesap tetes terakhir dari cangkirku.
Dia mengangguk pelan. "Bener. Ternyata, setelah ketemu dia gue malah inget masa lalu. Gue malah nyari lagi apa yang udah gue buang. Gue buka lagi memori gue tentang dia. Saking noraknya gue, sempet kebawa mimpi. Beberapa kali pula. Gila nggak sih gue?!"
"He eh. Lo emang udah gila. Liat aja penampilan lo sekarang," jawab saya sekenanya.
"Itu dia. Tau nggak, gue jadi nggak bisa makan. Kerjaan gue cuma denger lagu-lagu cengeng and ngerokok. Gue nggak bisa tidur tanpa nghayalin dia. Dan sekarang gue bener-bener berada di titik terendah gue. Pathetic abis! Gue berharap dia nelpon gue, ketemu dia lagi. Gue pengen cerita ma dia, pengen denger suaranya, pengen ngeliat dia.."
"Tapi?"
"Tapi gue nggak pernah ketemu dia lagi! Sampai sekarang dia belum juga nelpon gue!" jawabnya pelan. Kesedihan melanda dirinya. "Kenapa sih dia nggak nelpon gue? Kenapa dia nggak pernah muncul lagi di hadapan gue? Kenapa Tuhan ngasih gue kesempatan buat ketemu ma dia? Hanya untuk ngebuktiin kalo dia masih hidup? Nggak ketemu dia aja gue juga tau dia masih ada di kota ini" pertanyaan demi pertanyaan yang tidak bisa saya jawab terlontar dari mulutnya. "Kenapa sih dia jaat banget ma gue? Kenapa dia ninggalin gue? Gue stress".
"Lo nggak bisa ninggalin semua itu mungkin deep inside lo butuh jawaban atas pertanyaan lo"
"Jawaban apa?"
"Ya itu. Kenapa waktu dulu dia pergi tanpa ada penjelasan. Sekarang ketemu pun dia nggak ngasih jawaban itu ke elo. Dan elo jadi penasaran. Lo butuh jawaban dari dia. Mungkin kalo dia udah kasih tau alasannya, lo bisa relain dia pergi."
"But how? Kalo emang itu masalahnya, gimana gue bisa tau jawabannya?"
"Ya kalo lo berani, lo tanya ma dia. Selesein baik-baik"
"Come on. Nggak mungkin tiba-tiba gue nanya kenapa dulu dia pergi. Kemaren pas ketemu sih dia udah minta maaf karena dia ninggalin gue."
"Tetep lo nggak ngerasa puas kan?"
Dia mengangguk.
"Itu karena lo belum nemuin jawabannya," lanjut saya. "Lo masih penasaran ma dia. Kalo lo masih penasaran, mending lo tanya. Tapi kalo menurut lo, lo nggak bisa ngungkit masa lalu ke dia, mending lo pasrah aja. Relain semuanya. Udah selese meskipun lo nggak tau jawabannya".
Dia terdiam. Wajahnya semakin menunduk. Bahunya sedikit terguncang. Ia menangis pelan.
"Nggak semua pertanyaan ada jawabannya loh, Ra," ujar saya lembut. Kenapa teman saya ini bisa bertemu lagi dengannya? Mungkin ini hanya salah satu permainan Tuhan. Mungkin Tuhan lagi iseng sehingga timbul ide untuk mempermainkan perasaan teman saya ini. Atau mungkin Tuhan punya rencana lain dengan sengaja mempertemukan keduanya. Entahlah. Jangankan dia, sampai sekarang pun saya tidak tahu jawaban dari masalah saya. Tuhan sedang mempermainkan hidup saya.

Suara Mulan mengalun pelan, menyanyikan sebuah lagu dari album terbaru Ratu, Dear Diary. Satu lagi lagu sedih yang saya dengar di tempat ini. Saya memandang hujan dari balik jendela besar yang ada di sebelah saya. Saya suka sekali dengan hujan. Bisa berlama-lama duduk di depan jendela hanya untuk memandangnya. Tetes demi tetes membasahi jendela. Berkali-kali. Pelan-pelan saya menghela napas. Seperti kata Mulan di lagu ini, saya pun bertanya pada diri sendiri. Pujaanku.. engkau ada dimana?