November 15, 2007
November 04, 2007
Don’t let it burn, don’t let it fade
I’m sure I’m not being rude
But it’s just your attitude
It’s tearing me apart
It’s ruining everything
And I swore, I swore I would be true
And honey so did you
So why were you holding her hand
Is that the way we stand
Were you lying all the time
Was it just a game to you
Ini hanyalah sebuah permainan baginya. It doesn't mean anything for him. Tidak peduli bagaimana perasaan saya ketika ia memeluk saya kali pertama setelah pelukannya terakhir kali. Ia tidak peduli hati saya berontak ketika ia mencium saya kali pertama setelah ciumannya 6 tahun yang lalu. Ia tidak peduli saya menunggu sebuah penjelasan keluar dari bibirnya selama bertahun-tahun. Tidak pula mempedulikan bagaimana hati saya sekarang menunggunya datang. Ia tidak pernah peduli sekalipun.
But I’m in so deep
You know I’m such a fool for you
You got me wrapped around your finger
Do you have to let it linger
Do you have to, do you have to
Do you have to let it linger
Oh, I thought the world of you
I thought nothing could go wrong
But I was wrong
I was wrong
If you, if you could get by
Trying not to lie
Things wouldn’t be so confused
And I wouldn’t feel so used
But you always really knew
I just wanna be with you
Tidak pernah ada win win solution di dalam permainan ini. Ia yang memegang kendali. Ia bisa datang sesuka hati, pergi sesuka hati, berbuat semaunya. Dimana saya? Baginya, saya berada dimana sebenarnya? Sebuah pion catur yang bisa dipindahkan kapan pun ia inginkan? Sebuah keset yang bisa diinjaknya ketika memasuki sebuah ruangan?
Dan yang tersisa untuk saya hanyalah bau parfumnya tertinggal di bantal yang makin lama makin memudar, serta memori yang ada di otak yang selalu terputar kembali apapun aktivitas yang saya lakukan.
And I’m in so deep
You know I’m such a fool for you
You got me wrapped around your finger
Do you have to let it linger
Do you have to. do you have to
Do you have to let it linger
And I’m in so deep
You know I’m such a fool for you
You got me wrapped around your finger
Do you have to let it linger
Do you have to, do you have to
Do you have to let it linger
Satu hari ini saya berpikir. Apa yang harus saya lakukan? Membiasakan diri dengan dirinya lagi, which is, ia bisa datang dan pergi sesuka hatinya, atau menghentikan semua ini, which is, saya tidak akan pernah bisa melihatnya lagi, mendengarnya bercerita, mengetahui kabarnya? Sama seperti yang saya lakukan selama ini. Tidak mau tahu segala sesuatu tentangnya. Tidak peduli apakah dia masih ada di dunia ini atau tidak. Relakah saya?
You know I’m such a fool for you
You got me wrapped around your finger
Do you have to let it linger
Do you have to, do you have to
Do you have to let it linger
Hhh... saya harus mengakhirinya.
Should i?
November 03, 2007
Saya senang. Walopun ia datang hanya untuk meminjam film² yang saya punyai. Cukup membuat saya salah tingkah dihadapannya. Norak ya?
Tapi begitulah saya. Selalu tampak bodoh. Tidak pernah bisa menang. Sebal. Dia terlalu jauh untuk saya gapai. Mensejajarkan langkah saja sudah susah, apalagi meraihnya.
Terlalu bodoh jika saya libatkan perasaan saya. Lagi. Walaupun gairah untuk mendapatkannya memuncak, tidak mungkin saya jatuh ke lubang yang sama dua kali. Tidak. Saya tidak berani. Padahal pikiran saya sekarang ini selalu terarah padanya.
I'm so pathetic.
September 16, 2007
Orang yang sama? Berlanjut nih masalahnya? Nggak juga sih. Cuma, sepertinya saya susah sekali menjaga hubungan yang baik dengannya ketika berdekatan. Dimana letak salahnya saya tidak tahu. Kalau saya tahu, tentu sudah terselesaikan bukan masalah ini?
Mungkin saya yang tidak tahu diri, atau tidak memikirkan apa yang ia mau, atau apalah. Mungkin memang demikian adanya. Tapi, perlu di ingat, saya bukan magician yang bisa menebak keinginannya seperti Deddy Corbuzier. Atau doraemon yang bisa mengeluarkan mesin penebak pikiran. Apa saya harus mengerti arti diamnya? Sampai kapan harus begini?
Sepertinya saya tidak bisa hidup berdekatan dengannya. Mungkin kami tipe teman yang setahun sekali bertemu. Tidak bisa setiap hari bertemu. Menjaga pertemanan dengan baik perlu sekali bukan?
September 06, 2007
Feeling lost and I don’t wanna be here
Burning up inside the atmosphere
If I should spread my wings I could fly away
But I don’t wanna stay up here all night
Saya masih berada dalam euphoria ciptaan sendiri. Bayangkan, hampir dua minggu semenjak hari itu keadaan saya masih menyedihkan seperti ini. Euphoria yang sangat mendebarkan hati, mempercepat kinerja jantung saya, membuat saya bergairah menghadapi hari-hari yang akan saya lalui, walaupun tahu tidak akan terulang lagi, tetap membuat denyut nadi saya berpacu lebih dari biasanya.
And if you take my hand, you could take command
Can’t you hear me calling I’m falling
Won’t you take my hand, won’t you understand?
Can’t you hear me calling I’m falling
See the world below and I’m floating by
All alone here in the fearless sky
Feeling weightless please don’t let me go
Cos I need you so, tonight, tonight
Gila! Tubuh saya menggigil. Ini lebih gila dari yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Efeknya terlalu hebat bagi tubuh saya. Bukannya saya tidak kuat menghadapinya, malah saya menikmatinya! Menikmati semua perubahan yang terjadi. Padahal saya tahu, efeknya sangat buruk bagi saya.
If you take my hand, you could take command
Can’t you hear me calling I’m falling
Won’t you take my hand, won’t you understand?
Can’t you hear me calling I’m falling
But I need your sense of gravity
Something to pull me down
Tidak. Saya tidak boleh terjebak terlalu lama dalam dunia ini. Mimpi itu sudah berlebihan. Bukankah tidak baik jika saya terus-terusan berada di dunia khayal saya, sementara di realita hidup ini sangatlah kejam?
If you take my hand, you could take command
Can’t you hear me calling I’m falling
Won’t you take my hand, won’t you understand?
Can’t you hear me calling I’m falling
For you ahhyeah
Falling
For you
August 26, 2007
Suddenly you were here, like an angel appeared
And the world that I knew changed into a wonderland
Then you called out my name, looked around and I found you were gone
Like the rays of the sun, disappeared into never ending nights
Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengannya tanpa di sengaja. Hadir begitu saja di hadapan saya seperti ketika ibu peri muncul pertama kali di hadapan cinderella yang sedang bersedih karena tidak bisa datang ke pesta kerajaan. Mengayun tongkat sihirnya membuat sang putri merasa begitu bahagia. Walau jam 12 semua itu musnah. Ya. Seperti itulah kehadirannya bagi saya. Sekejap. Namun membekas di hati yang paling dalam. Lalu pergi diam-diam dengan mencuri secuil hati.
Where everything real has turned to stone
And the songbird has flown (youre gone)
Now I know a rose can change a shade of blue
Ooh yeah, yeah, yeah, yeah, yeah
A shade of blue
Sama. Dari dulu ia memberikan perhatian pada saya dengan cara yang sama. Suaranya yang lembut, soror matanya yang teduh, hangatnya pelukan, sentuhan-sentuhan yang ia berikan selalu membuat saya tidak bisa memejamkan mata. Belaiannya. Sama seperti ketika ia mencium kening saya untuk pertama kali.
My bodys hurting, crying and yearning
Sometimes I feel like Im loosing my mind
And I think about you, knowing only you could understand
Here alone in my room, I can feel all the walls closing in
Feeling trapped in a shell, wishing that I could spin the wheels of change
Yang tidak saya mengerti, apa maksudnya dengan semua sentuhan yang ia berikan? Kenapa ia harus memperlakukan saya seperti cinderella? Membuat saya melayang jauh. Bermimpi tentangnya. Kemudian menghempaskan begitu saja.
Sepertinya dia lupa, bahwa saya bukan cinderella dimana ibu peri selalu hadir membawa kebahagiaan. Dan nantinya, ujung dari kisah ini bukan seperti layaknya penutup sebuah dongeng, ".. and they live happy ever after".
August 24, 2007
July 24, 2007
"Hei. Apa kabar?" tanyanya, membuka percakapan ketika tanpa sengaja saya bertemu dengannya ketika sedang menunggu lift. Damn. Kenapa saya harus berada di sini!? Tasha sialan! umpat saya dalam hati. Gara-gara dia saya harus menggantikannya rapat di stasiun tv dimana saya tahu, ia ada di sini. Sejujurnya saya tidak mau bertemu dengannya. Selama di gedung ini tak henti-hentinya saya berdoa dalam hati untuk menghilang saja sehingga ia tidak perlu melihat saya.
Ia masih sama seperti yang saya ingat. Bentuk wajahnya, binar matanya, senyumnya yang khas, semuanya. Tingginya. Hanya saja badannya lebih kekar serta sekarang wajahnya menunjukkan kedewasaan yang belum pernah saya lihat.
"Baik. Kamu?" hati saya berdebar, sedikit lebih kencang dari biasanya. Owh... stop it! Bisik saya, tak ingin debaran ini terdeteksi olehnya. Seolah-olah mengerti, hati saya berdebar pelan. Akan tetapi saya tetap merasakan sesuatu yang aneh di hati saya. Sebuncah getaran hinggap di perut. Kikuk dihadapannya, saya menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
"Baik," ujarnya. Matanya menatap saya. Mulutnya setengah bergerak, kemudian mengatup. Seolah-olah ingin mengatakan sesuatu. Saya menelan ludah. Membasahi tenggorokan yang mengering. Saya ingin bertanya banyak hal kepadanya. Bagaimana hidupnya selama ini. Ingin mendengarnya bercerita seperti dulu. Ingin melihat binar matanya ketika berbicara yang sempat hilang dari hadapan saya.
"I, uh.. i've to go," ujarnya sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "mesti nyiapin live show buat jam 8"
"Owh.. ok" saya mengangguk sambil tersenyum. Suara lift berdenting. Pintunya terbuka. Saya melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Dan dia masih tetap berdiri di sana.
Ia masih menatap saya. "Maybe next time we can-"
"Yeah, sure," sambar saya. Masih mengangguk. "Next time, Gi"
Perlahan-lahan pintu lift tertutup.
July 21, 2007
Saya capek.
Memang menyenangkan bertemu dengan orang baru -atau orang lama yang sudah sekian tahun tidak bertemu. Setidaknya menambah daftar orang-orang yang dapat saya manfaatkan. Yaa! Dengan jujur saya bilang, saya memanfaatkan para kenalan baru saya -atau orang lama, untuk sesuatu yang dapat membuat taraf hidup saya naik. Kerja maksud saya. Saya sedang berencana pindah. Adakah dari kalian mau memberikan saya pekerjaan? Ada? Ada? Tidak?!?! Ya sudah. Diam saja di pojokan sana!
Saya sedang tidak mood untuk berbaik hati. Mungkin inilah yang membuat semua orang menjauh dari saya. Bayangkan. Saya tinggal di sebuah rumah yang berisikan 4 atau 5 orang, jarang sekali mereka mengajak saya berbicara. Bahkan, mereka tidak membangunkan saya untuk ikut dalam surprise birthday party yang diadakan di kamar sebelah! Padahal saya sedang tidur di ruang tv. Tidak sampai tiga langkah dari tempat saya untuk ke kamar sebelah. Dan saya hanya bisa mendengar ribut-ribut mereka saja. It sucks!
Well. Mereka telah menandai teritori untuk saya dengan pipis mereka. Tidak apa. Yang penting saya tahu harga pertemanan mereka. Dan yang paling utama adalah saya punya teman-teman yang lebih dapat diandalkan. Walaupun sedikit, kata-kata kotor berterbaran ketika kami berkumpul, sok orang kaya padahal duit tinggal sedikit, tapi setidaknya saya tahu dengan mereka saya dapat bermain dengan fair.
April 11, 2007
Hampir setiap saat orangtua saya —terutama ibu, menyinggung hal ini pada saya. Ketika saya pulang malam sehabis kerja atau main, yang terlontar dibibir ibu adalah, "Mau jadi apa kamu jam segini baru pulang?". Kalau sudah begini, yang saya lakukan hanyalah mencium pipinya lalu masuk kamar. Rasanya kuping ini sudah kebal mendengarnya. Kalau waktu dulu saya berani membantah, berdiam diri adalah pilihan saya sekarang. Ibu dan bapak tidak pernah mengerti kalau pegawai swasta seperti saya tidak seperti pegawai negeri yang bisa pulang jam 5 atau bahkan sebelumnya. Memangnya kenapa kalau saya pulang malam? Toh karena kerjaan, atau karena saya jarang sekali punya waktu bermain mengingat kerjaan yang terus menerus menumpuk.
"Inget umur, jangan kerjaan aja yang dipikirin. Waktu ibu seumuran denganmu, ibu sudah punya dua anak—"
Itu kan dulu, ujar saya dalam hati. Sekarang sudah banyak perempuan yang belum menikah, ibu. Bahkan, ada yang sudah berumur 35 tahun keatas belum menikah. Memangnya hidup ini harus cepat-cepat menikah?
"Anaknya bu Umar yang seangkatan ma kamu kemarin menikah—"
Ya kalau ia sudah siap, kenapa nggak? hati saya menyahut. Bibir ini tetap diam. Untuk apa saya meladeninya? Hanya bikin capek hati.
"Kata mbak Dini, Cilla sudah melahirkan minggu lalu. Kamu kalah. Bapak dan Ibu sudah tua. Kami ingin melihat cucu dari kamu"
Raut wajah saya tidak berubah. Apa saya harus mengadopsi anak? Atau mencari sperma unggul di bank sperma?
"Cari suami yang bibit bebet bobotnya bagus. Seagama, punya masa depan yang bagus, nggak cuma sayang ma kamu aja, tapi dengan keluarga kamu—"
Seperti Mas Jaka? Suami mbak Ria, kakak saya yang kedua. Orangnya sopan, baik, dari keluarga yang baik-baik, tutur kata yang halus dan masih segudang kebaikannya. Masa depan mbak Ria terjamin dengan pekerjaan mas Jaka sebagai pengacara. Tak heran kalau kehidupan rumah tanggak mbak Ria melebihi rumah tangga mbak Dini yang hanya bersuamikan dosen negeri. Tapi sayang, mbak Ria lebih memilih keluarga mas Jaka dibandingkan ibu. Misal, ketika lebaran tiba mbak Ria hanya memberi ibu 2 macam kue sedangkan untuk keluarga mas Jaka mbak Ria membeli 5 macam kue lebaran serta berplastik-plastik buah tangan untuk ponakan-ponakan mas Jaka. Belum lagi mbak Ria sibuk mengunjungi keluarga mas Jaka dibandingkan dengan ke rumah ibu yang hanya bisa dihitung dengan jari. Ketika mbak Dini, mas Riza, ibu, serta saya di rumah sibuk berbenah rumah menjelang lebaran karena si Nah pulang kampung, mbak Ria dan mas Jaka hanya ongkang-ongkang kaki di kamar. Seperti itu?
"Kamu belum ngerasain punya anak sih," ujar ibu pada saya ketika saya marah gara-gara anaknya mbak Ria berkali-kali membuat kamar saya seperti kapal pecah dengan mainan dimana-mana serta tempat tidur yang berantakan gara-gara suka melompat-lompat diatasnya, membuat mbak Ria memusuhi saya. Bukan hanya mbak Ria, mas Jaka pun ikut memusuhi saya. Kata mbak Ria, saya tidak menghormatinya dan mas Jaka. Lho, harusnya kan anak dididik untuk bertanggung jawab sejak kecil. Bandingkan dengan anak mbak Dini. Yan hampir selalu membereskan robot, kartu dan segala mainannya sehabis ia bermain (kecuali sedang ngambek). Ia pun tahu kalau saya tidak suka kamar saya dipenuhi dengan mainan, selalu membawa mainannya ketika keluar dari kamar saya. "Ya kan nanti juga bakalan diberesin," ujar mbak Ria membela diri. "Kalo diomongin baik-baik Dani juga bakalan mau ngeberesin kok" Saya kok tidak yakin. Terlalu banyak kejadian seperti ini. Sampai malam pun mainan-mainan tetap berserakan di semua sudut ruang tv. Saya paling sebal kalau Dani membiarkan mainan begitu saja. Memangnya enak menginjak tentara kecil yang tergeletak dengan senjata mengarah ke atas? Atau terpeleset gara-gara air yang menetes dari pistol air?
Sejujurnya, saya tidak mau mendapatkan suami seperti mas Jaka. Memang dia baik, terpelajar, masa depan cerah. Tapi entah di sengaja atau tidak, ia selalu berbicara yang memojokkan keluarga kami. Bapak yang selalu teliti terhadap apapun, ibu yang selalu cerewet jika melihat Dani memanjat pohon atau main sepeda kencang-kencang, saya yang super duper cerewet, etc. Sepertinya saya tidak rela keluarga saya lecehkan seperti itu. Memangnya salah jika bapak menghitung kembali apa-apa saja yang telah kami makan di restauran? Ya maklum saja, dari dulu bapak memang teliti dalam segala hal. Atau ibu yang selalu melarang Dani memanjat pohon atau main sepeda kencang-kencang? Sebagai nenek, tentu saja beliau tidak mau melihat cucunya terluka. Saya tidak bisa mendengar curhatan ibu mengenai omongan mas Jaka. Tidak sering sih, tapi cukup membuat saya sedih.
Jika suatu saat saya menjadi seorang istri, saya pun tidak mau seperti mbak Ria. Masak hanya gara-gara saya mempunyai suami, saya harus mengikuti apa kata suami tentang keluarga saya, atau lebih memilih keluarga suami dibandingkan keluarga saya sendiri?
Seperti yang saya tulis diatas, pernikahan bukan pilihan saya sekarang. Tidak perlu terburu-buru mencari sosok suami yang ideal hanya karena umur. Ah, sepertinya nanti saya adalah seorang istri yang bandel!